Kamis, 06 Agustus 2009

Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah

Dirasat Fi Al-Aqidah Al-Islamiyyah
I. DEFINISI (تعريف):
a. Etimologi (لغة): Al-Aqidah berasal dari kata bahasa Arab العقد (mengikat, menguatkan, meneguhkan) yang merupakan مشتاق (kata jadian) dari asal katanya عقد-يعقد-عقدة-عقيدة yang maknanya ikatan.
b. Terminologi (إصطلاحا): Makna bahasa di atas menghasilkan tiga hal, yaitu:
i. Ar-Rabthu (ikatan), maksudnya ikatan yang mengikat keyakinan seorang mu’min sehingga terjaga dari berbagai kepercayaan dan keyakinan yang bersifat khurafat dan takhayyul.
ii. Al-Jazmu (keyakinan yang mantap), yaitu keyakinan yang mantap kepada Allah SWT terhadap rizki, kekuasaan maupun keadilan dan pertolongan-Nya.
iii. Al-‘Ahdu (janji), ialah janji untuk membela kebenaran dan menegakkan hukum Allah SWT dimuka bumi ini.
II. NAMA LAINNYA (الأسماء الأخرى):
a. Banyak ulama salaf yang menamakannya As-Sunnah (seperti kitab As-Sunnah karya Ibnu Hanbal & kitab yang sama karangan Ibnu Abi Ashim).
b. Ada pula yang menamakannya Al-Fiqh Al-Akbar, karena ia adalah dasar agama (seperti kitab karya Imam Abu Hanifah), lawannya adalah al-Fiqh Al-Ashgar.
c. Ada pula yang menamakannya Ushuluddin, karena ajaran Nabi SAW ada yang merupakan bagian keyakinan (إعتقادات) yang merupakan Ushul dan ada pula yang merupakan amal keseharian (عمليات) yang merupakan Furu’.
III. AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH (اهل السنة والجماعة):
a. Dalil penamaan Ahlus Sunnah adalah hadits Nabi SAW: فعليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي،عضوا عليها بالنواجذ (… wajib atas kalian berpegang teguh kepada sunnahku & sunnah khulafaur Rasyidin setelahku, gigit lah ia dengan gigi geraham…)[1].
b. Sementara penamaan Al-Jamaah adalah berdasarkan hadits Nabi SAW : “… dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, yang 72 golongan akan masuk neraka dan yang 1 golongan akan masuk Jannah dan yang 1 itu adalah Al-Jamaah)[2]”.
c. Mereka disebut juga dengan nama Tha’ifah Manshurah, berdasarkan hadits : “Tidak henti-hentinya tha’ifah (sekelompok) dari umatku yang dimenangkan, tidak mempengaruhi mereka orang yang menghina mereka sampai datangnya Hari Kiamat.”[3]
d. Mereka disebut juga Firqatun Najiyyah, berdasarkan hadits dari Auf bin Malik RA tentang Al-Jama’ah di atas.
e. Adapun istilah yang sekarang coba dipopulerkan oleh sebagian orang, yaitu istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.
IV. UMMATAN YANG ADIL & PILIHAN (امة وسطا):
a. DALAM IBADAH: Pertengahan antara pemahaman Rawafidh yang menambah-nambahi dengan berbagai dzikir & doa yang berlebihan, upacara-upacara dan berbagai perayaan bid’ah, membangun & menghiasi kuburan, istighatsah & tawasul yang tidak ada dalilnya di satu sisi; dengan pemahaman Duruz & Nashiriyyun yang malah meninggalkan semua jenis ibadah, mereka tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat & hajji dan seterusnya.
b. DALAM ASMA’ WA SHIFAT: Pertengahan antara kelompok mu’aththillah yang mengingkari sifat-sifat ALLAH karena menganggap ALLAH SWT tidak pantas memiliki sifat (baik mengingkari seluruh asma’ wa sifat seperti Jahmiyyah, ataupun hanya mengingkari sifat-sifat ALLAH saja seperti Mu’tazilah, di antara bagian dari Mu’tazilah ini adalah kelompok Asy’ariyyah yang men-ta’wil sebagian sifat ALLAH dengan alasan mensucikan ALLAH) di satu sisi dengan kelompok mumatstsilah/musyabbihah yang menyerupakan sifat ALLAH dengan manusia. Maka kita menerima dan memahami asma’ wa shifat ALLAH dengan itsbat (penerimaan), tanpa ta’thil (menghilangkan), ta’wil (dimaknai lain), tasybih/tasybih (diserupakan) dan takyif (bertanya tentang kaifiyat-nya) [4].
c. DALAM TAQDIR: Pertengahan antara sikap menafikan taqdir sama sekali dan menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah kehendaknya sendiri tanpa ada campur-tangan ALLAH sama sekali (Qadariyyah) di satu sisi; dan sikap menyerah pada taqdir sama sekali dan menafikan semua usaha manusia sehingga bagaikan daun kering terbawa air sungai yang tidak memiliki kemampuan & kehendak (Jabariyyah). Maka Ahlus Sunnah mengimani 4 tingkat taqdir[5] yaitu dimulai dari ilmu ALLAH SWT yang bersifat qadim (terdahulu) & meliputi segala sesuatu, kemudian IA memerintahkan agar semuanya tertulis di Lauh Mahfuzh, kemudian semua kehendak-NYA pastilah akan terlaksana, maka kemudian IA menciptakan makhluq, memberi petunjuk pada mereka dan menyempurnakan kejadian mereka[6].
d. DALAM JANJI DAN ANCAMAN: Pertengahan antara didominasi nash-nash ancaman seperti kelompok Wa’idiyyah/Haruriyyah: dengan sebaliknya didominasi nash-nash janji dan harapan seperti Murji’ah. Kelompok Wa’idiyyah mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar, sementara Murji’ah menyatakan semua perbuatan dosa apapun hatta dosa besar tidak akan diazab apapun sepanjang hatinya masih ada keimanan.
e. DALAM MENILAI SHAHABAT NABI SAW: Pertengahan antara ekstremitas mencintai Ahlul Bayt sebagaimana kelompok Syi’ah dan ekstremitas kebencian kepada Ahlul Bayt sebagaimana kelompok Nawashib (sebagian dari Khawarij); sebaliknya Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bayt sebagaimana pada sebagian sahabat yang lain dan bahkan mereka (ahlul-bayt Nabi SAW) memiliki 2 keutamaan yaitu hak Islam dan hak kekerabatan dengan Nabi SAW, mereka mencintai para Ahlul Bayt dan mendoakan semoga ALLAH SWT meridhai mereka[7].
(Bersambung insya ALLAAH…)
MARAJI’:
1. AbduLLAH bin Abdul Aziz Al-Jibrin, DR., Tahdzib Ta’shil Al-Aqidah Al-Islamiyyah, Maktabah Malik Fahd Al-Wathaniyyah, Riyadh.
2. Muhammad bin Abdil Wahhab, Kasyf Asy-Syubuhat fi Tauhid, Al-Jami’ah Al-Islamiyyah bil-Madinah Al-Munawwarah, Madinah.
3. Shalih bin Sa’id As-Suhaymi, DR., Murakkazah Fil Aqidah, Al-Jami’ah Al-Islamiyyah bil-Madinah Al-Munawwarah, Madinah.
4. Muhammad Nu’aim Yasin, DR., Al-Iman Arkanuhu Haqiqatuhu wa Nawaqidhuhu, (terjemahan) berjudul : Iman Rukun, Hakikat & yang Membatalkannya, Syaamil Bandung.
5. Muhammad Quthb, Mafahimu Yanbaghi ‘an Tushahhah, (terjemahan) berjudul : Koreksi Atas Pemahaman La Ilaha IllaLLAH, Al-Kautsar Jakarta.
6. Nabiel Fuad Al-Musawa, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Syaamil bandung.
7. Dll.
Catatan Kaki:
[1] HR Thabrani, dalam Musnad Asy-Syamayn, hal. 136; dan juga dalam Mu’jam Al-Kabir, XVIII/248,623; dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, VI/526.
[2] HR Abu Daud, II/503-504; Ibnu Majah, XI/494; Ahmad, IV/102; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’, X/853; Al-Hakim, I/128; Ad-Darami, II/241; AbduRRAZZAQ dalam Al-Mushannaf, X/156; At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kubra’, XIV/301; Abu Ya’la dalam Al-Musnad, VIII/466; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, I/358.
[3] HR Tirmidzi, II/30; Abu Daud, I/8; Ahmad, III/436; Ibnu Hibban no.2313; At-Thayalisi dalam Al-Musnad hal.145; Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, I/3; At-Thabrani dalam Al-Kabir, XIII/356; dan berkata Albani dalam Ash-Shahihah, I/688 : “Shahih sesuai syarat Syaikhan.”
[4] Hal ini terangkum dalam perkataan Imam Malik bin Anas –rahimahuLLAAH- saat beliau ditanya oleh seorang Jahmiyyah tentang bagaimana ALLAH SWT istiwa’ di atas ‘Arsy? Maka beliau menjawab : “Istiwa’ itu ma’lum (diketahui), kaifiyat-nya majhul (tidak diketahui), iman atas hal itu wajib dan bertanya tentang hal itu bid’ah.” (HR Ad-Darami dalam kitabnya Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal-33; juga Al-Lalika’I, I/92; juga dalam Mukhtashar Al-‘Uluww oleh Adz-Dzahabi, hal.141).
[5] Yang dirangkum oleh para ulama aqidah dalam sya’ir mereka : “’Ilmun kitabatu mawlana masyi’atuhu, kadzalika khalqun wa ijadun wa takwinun.”
[6] Keimanan Ahlus Sunnah kepada takdir juga berkeyakinan bahwa semua takdir bersifat baik dari sisi ALLAH SWT, karena IA Maha Suci dari sifat buruk, namun dari sisi kelemahan manusia bisa saja takdir-NYA itu dianggap buruk seperti penyakit, cacat dsb, padahal semuanya ada hikmah yang baik jika seandainya manusia itu mengetahuinya (sampai dari penciptaan Iblis-pun ada hikmahnya, di antaranya menjadi ujian bagi manusia, adanya taubat & inabah setelah manusia tergelincir, adanya kehati-hatian & perlunya permohonan perlindungan kepada ALLAH SWT, dsb; lih. Kitab Al-Iman, Arkanuhu, Haqiqatuhu wa Nawaqidhuhu, DR Muhammad Nu’aim Yasin).
[7] Ahlul Bayt menurut Ahlus Sunnah adalah kerabat Nabi SAW yang diharamkan shadaqah bagi mereka, yaitu Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan semua istri Nabi SAW (Lih. Jala’al Afham, Ibnul Qayyim hal.114; juga tafsir Al-Qurthubi, Ibnu Katsir & Asy-Syaukani dalam tafsir QS Al-Ahzab, 33:32-33).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar